Pages - Menu

Minggu, 13 September 2015

BARALEK















Lain padang lain ilalang, demikian kiranya pepatah yang mengilustrasikan sebuah pernikahan. Di setiap daerah acara pernikahan tentunya dilangsungkan sesuai dengan adat atau kebiasaan setempat. Demikian pula halnya sebuah upacara pernikahan di ranah minang. Apakah anda cukup familiar dengan upacara adat yang satu ini? Jika tidak anda tak perlu risau karena berikut ini saya akan mengulas sebuah acara resepsi pernikahan yang dilangsungkan oleh anak nagari Minangkabau.
Baralek adalah istilah yang digunakan untuk penyelenggaraan pesta pernikahan di Sumatera Barat [Minang].
Maresek. 
Merupakan penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tatacara pelaksanaan pernikahan sesuai adat minangkabau. Pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga wanita membawa buah tangan berupa buah-buahan atau kue. Pada awalnya beberapa wanita yang berpengalaman diutus untuk mencari tahu apakan pemuda yang dituju berminat untuk menikahi dan cocok dengan si gadis. Prosesi bisa berlangsung beberapa kali perundingan sampai tercapai kesepakatan dari keduabelah pihak.
Meminang dan Bertukar Tanda
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi calon mempelai ptia untuk meminang. Bila pertunangan diterima, berlanjut dengan bertukar tanda sebagai symbol pengikat perjanjian dan tidak dapatdiputuskan secara sepihak. Acara melibatkan orang tua atau ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak.
Rombongan keluarga calon mempelai wanita datang membawa sirih pinang lengkap disusun dalam carano atau kampia, yaitu tas yang terbuat dari daun pandan. Menyuguhkan sirih di awal pertemuan diharapkan jika ada kekurangan tidak menjadi gunjingan atau celaan.sebaliknya, hal yang manis akan selalu diingat selamanya.selain itu disertakan dengan buah-buahan dan kue-kue.
Benda yang dipertukarkan biasanya benda pusaka seperti kris, kain adat, atau benda lainyang bernilai sejarah bagi keluarga. Benda ini akan dikembalikan dalam suatu acara resmi setelah berlangsung akad nikah.
Tata caranya diawali dengan juru bicara keluarga wanita menyuguhkan sirih lengkap untuk dicicipi oleh keluarga pihak lelaki sebagai tanda persembahan. Juru bicara menyampaikan lamaran resmi. Jika diterima berlanjut dengan bertukar tanda ikatan masing-masing. Selanjutnya berembuk soal tata cara penjemputan calon mempelai pria.
Mahanta/Minta Izin
Calon mempelai pria mengabarkan dan memohon  doa restu rencana pernikahan kepada mamak-mamaknya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakak yang telah berkeluarga dan para sesepuhyang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh mempelai wanita diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan cara mengantar sirih lengkap.
Bagi calon mempelai pria membawa selapah yang berisi daun nipah dan tembakau (sekarang diganti dengan rokok).
Ritual ini dimaksudkan untuk memberitahukan dan memohon doa rencana pernikahannya. Biasanya keeluarga yang didatangi akan memberikan bantuan untuk ikut memikul beban dan biaya pernikahan sesuai kemampuan.
Babako/Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita(disebut bako) ingin memperlihatkan kasih sayang dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan. Acara berlangsung beberapa hari sebelum acara akad nikah.
Perlengkapan yang disertakan biasanya berupa sirih lengkap (sebagai kepala adat), nasi kuning singgang ayam( makanan adat), antaran barang yang diperlukan calon mempelai wanita seperti seperaangkat busana, perhiasan emas, lauk-pauk baik yang sudah dimasak atau mentah, maupun kue dan buah.
Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput kerumah keluarga ayahnya. Kemudian tetua member nasihat. Keesokan harinya, diarak kembali kerumahnya diiringi keluarga pihak ayah dengan membawa berbagai macam bantuan yang telah disebutkan diatas.
Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar yang akan meninggalkan warna merah dikuku calon mempelai wanita. Lazimnya acara ini berlangsung malam hari sebelum acara akad nikah. Tradisi ini merupakan tanda kasih sayang dan doa restu dari para sesepuh keluarga mempelai wanita.
Busana untuk upacara bainai, yakni baju tokoh dan bersunting rendah. Perlengkapan lain adalah air yang berisi keharuman tujuh bungan, daun iani tumbuk, paying kuning, kain jajakan kuning, kain simpai dan kursi untuk calon mempelai.
Calon mempelai wanita keluar dengan diapit teman-teman sebayanya. Madi secara simbolik dilakukan oleh para sesepuh, selanjutnya kuku calon mempelai diberi inai.
(Kalau saya prosesi ini yang paling saya tunggu. hyhy)

Manjapuik Marapulai
Ini merupakan acara adat yang paling penting dalam seluruh rangkaian acara perkawinan menurut adat minangkabau. Calon mempelai pria dijemput dan dibawa kerumah calon mempelai wanita untuk melangsungkan akad nikah. Acara ini dibarengi dengan pemberian gelar pusaka kepada mempelai pria.

Lazimnya pihak mempelai wanita membawa sirih lengkap dalam cerena yang menandakan datangnya secara beradat, pakaian pengantin pria lengkap, nasi kuning singgang ayam, lauk-pauk, kue, serta buah. Untuk daerah pesisir juga menyertakan paying kuning, tombak, pedang, serta uang jemputan atau uang hilang.

Setelah itu diadakan acara sambah-menyambah untuk mengutarakan maksud kedatangan, barang-barang yang telah disebutkan tadi diserahkan. Selanjutnya calon mempelai pria beserta rombongan diarak menuju kediaman mempelai wanita.

 Penyambutan di Rumah Anak Daro

Tradisi penyambutan ini biasanya dilakukan dengan prosesi yang meriah dan besar. Diiringi dengan music talempong dan gandang tabuk, serta barisan gelobang. Adat timbale balik yang terdiri dari pemuda-pemuda yang berpakaian silat dan para dara yang berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.

Sirih dalam carano adat lengkap, paying kuning, kain jajakan putih, merupakan perlengkapan yang biasa digunakan.

Keluarga mempelai wanita memayungi calon mempelai pria disambut dengan tari gelombang adat gtimbal balik. Kelompok dara mempersembahkan sirih lengkap. Para sesepuh wanita menaburi calon mempelai pria dengan beras kuning. Sebelum masuk pintu rumah, kaki calon mempelai pria diperciki sebagai lambing mensucikan, lalu berjalan menapaki kain putih menuju tempat berlangsungnya akad nikah.

Tradisi seusai akad nikah
·        Memulangkan tanda
Setelah resmi sebagai suami istri, maka tanda yang diberikan sebagai ikatan janji sewaktu lamaran, dikembalikan oleh kedua belah pihak.
·        Mengumumkan gelar pengantin pria
\gelar ini bermakna sebagai tanda kehormatan dan kedewasaan mempelai pria yang diberikan oleh ninikmamak.
·        Mengadu kening
Pasangan mempelai dipimpin oleh sesepuh wanita, menyentuhkan kening satu sama lain berahadapan. Diantara wajah keduanya dipisahkan dengan sebuah kipas. Lalu diturunkan perlahan, sehingga kedua kening saling bersentuhan.
·        Mengaruak nasi kuning
Ini mengisyaratkan hubungan kerjasama suami istri, keduanya harus saling bekerja sama, menahan diri, dan melengkapi. Ritual diawali dengan berebut mengambil daging ayam di dalam nasi kuning.

     Manikam jajak
    Satu minggu setelah akad nikah, umumnya pada hari jumat sore, sang pengantin baru pergi kerumah orang tua serta ninik mamak pengantin pria dengan membawa makanan. Tujuan dari upacara ini adalah untuk memuliakan orang tua serta ninik mamak pengantin pria seperti orang tua sendiri. 

Minggu, 29 Juli 2012

SUKU-SUKU DAN ETNIK MINANGKABAU

Suku-suku dalam Etnik Minangkabau
Dalam etnis Minangkabau terdapat banyak lagi klan, yang oleh orang Minang sendiri
hanya disebut dengan istilah suku. Beberapa suku besar mereka adalah suku Piliang,
Bodi Caniago, Tanjuang, Koto, Sikumbang, Malayu, Jambak; selain terdapat pula suku
pecahan dari suku-suku utama tersebut. Kadang beberapa keluarga dari suku yang
sama, tinggal dalam suatu rumah yang disebut Rumah Gadang.
Di masa awal Minangkabau mengemuka, hanya ada empat suku dari dua lareh atau
kelarasan (laras). Suku-suku tersebut adalah:

Suku Koto
Suku Piliang
Suku Bodi
Suku Caniago
Dan dua kelarasan itu adalah :

Lareh Koto Piliang yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan
Lareh Bodi Caniago, digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang
Perbedaan antara dua kelarasan itu adalah:

Lareh Koto Piliang menganut sistem budaya Aristokrasi Militeristik
Lareh Bodi Caniago menganut sistem budaya Demokrasi Sosialis
Dalam masa selanjutnya, muncullah satu kelarasan baru bernama Lareh Nan Panjang,
diprakarsai oleh Datuk Sakalok Dunia Nan Bamego-mego.

Sekarang, suku-suku dalam Minangkabau berkembang terus dan sudah mencapai ratusan suku, yang terkadang sudah sulit untuk mencari persamaannya dengan suku induk. Di antara suku-suku tersebut adalah:

Suku Tanjung
Suku Sikumbang
Suku Malayu
Suku Guci
Suku Panai
Suku Jambak
Suku Panyalai
Suku Kampai
Suku Bendang
Suku Kutianyie
Suku Mandailiang
Suku Sipisang
Suku Payobada
Suku Pitopang
Suku Mandaliko
Suku Sumagek
Suku Dalimo
Suku Simabua
Suku Salo
Suku Singkuang

Sedangkan orang Minang di Negeri Sembilan, Malaysia, membentuk 13 suku baru yang berbeda dengan suku asalnya di Minangkabau, yaitu:

Suku Biduanda (Dondo)
Suku Batu Hampar (Tompar)
Suku Paya Kumbuh (Payo Kumboh)
Suku Mungkal
Suku Tiga Nenek
Suku Seri Melenggang (Somolenggang)
Suku Seri Lemak (Solomak)
Suku Batu Belang
Suku Tanah Datar
Suku Anak Acheh
Suku Anak Melaka
Suku Tiga Batu

Rabu, 25 Juli 2012

NGARAI SIANOK

Sianok canyon is a steep valley (cliff) is located in the border town of Bukittinggi, the IV Koto district, Agam regency, West Sumatra. The valley is long and winding as the southern border town of Koto Gadang canyon to the villages Sianok Anam Tribe, and ended in the district Palupuh. Sianok canyon has beautiful views and also one of the flagship attractions province.
Jurangnya Sianok canyon is about 100 m in this, stretches along 15 km with a width of about 200 m, and is part of the fault that separates the island of Sumatra in half lengthwise (Semangko fault). These faults form a wall of steep, even perpendicular and form a green valley-the result of the movement down the earth's crust (sinklinal)-fed Sianok stem (stem means the river, the Minangkabau language) that the water is clear. In the Dutch colonial era, the gulf is also called buffalo sanget karbouwengat or, because of the many free-living wild buffalo in the bottom of this canyon.
Sianok rod can now be forded by the use of canoes and kayaks are disaranai by a water sports organization "Qurays". The route taken is from the villages to oblong Sitingkai Lambah Palupuh villages for about 3.5 hours. At the edges still found many rare plants such as rafflesia and medicinal plants. Fauna encountered such long-tailed monkey, gibbon, mitered, deer, wild boar, leopard, and tapir.

JAM GADANG

Jam Gadang (literally "Massive Clock") is a clocktower and major landmark of the city of Bukit Tinggi, West Sumatra, Indonesia. It is located in the centre of the city, near the main market, Pasar Atas, and is a tourist attraction. This clocktower has large clocks on each side and was given the name "Jam Gadang" (English: big clock).
The structure was built in 1926 during the Dutch colonial era, as a gift from the Queen to city's controleur. It was designed by architects Yazin and Sutan Gigi Ameh. Originally a rooster figure was placed on the apex, but it was changed into a Jinja-like ornament during the Japanese occupation. Following Indonesian independence, it was reshaped to its present form resembling traditional Minangkabaun roofs (see Rumah gadang). It is said to have cost 3,000 guilder.
Each clock face has a diameter of 80 centimetres (31 in). Its base is 13 by 4 metres (43 × 13 ft) and stands 26 metres (85 ft) tall.
One unique clock feature uses "IIII" for the number 4 instead of the traditional Roman number "IV". Based on a local story, the four vertical lines represents the four workers who died while constructing the building.
The laying of the Jam Gadang cornerstone was done by the 6-year-old son of Rook Maker, the city secretary of Bukittinggi at the time.
Given its iconic appearance, the structure is a frequent object of local souvenirs. It is printed on apparel, painted, used as a sculpting model, and so forth. As of January 2008, it cost 50,000 rupiahs (around US $5) to enter the tower.
Its plaza serves as the centre of New Year celebration in Bukittinggi.

Kamis, 26 Januari 2012

MUSLIMAH

Ketika orang feminin mengatakan bahwa wanita harus mengikuti mode, tidak boleh mengikuti pakaian adat masa lampau dengan menutup kepala. Maka aku katakan “tidak!” pada kaum feminin. Pakaian muslimah adalah pakaian syar’i yang mempunyai sifat multi fungsi, sebagai pelindung bagi muslimah dari tatapan mata laki-laki jalang, sebagai pelindung kulit di saat panas mentari menyengat, sebagai pelindung tubuh dari cuaca dingin, sebagai kehormatan wanita yang mempunyai izzah.
 
Jilbab adalah identitas, pakaian indah yang membuat muslimah berwibawa. Muslimah bukanlah budak mode yang hanya patuh pada kemauan designer murahan.

Ketika kaum feminin bilang, wanita harus memberontak jika diminta patuh pada laki-laki, mengasuh anak di rumah. Maka aku katakan “tidak!” pada golongan feminisme. Muslimah adalah wanita merdeka, tidak ada kewajiban menafkahi keluarga, semua tanggungan nafkah ada di tangan suami, tidak perlu lagi bersusah payah memaksa bekerja keluar rumah. Allah memuliakan wanita muslimah, jika mereka mempunyai penghasilan dan memberikan penghasilan tersebut untuk kebutuhan keluarga demi menolong suami, maka dihitung sebagai sedekah. Betapa merdekanya seorang muslimah.

Ketika kaum feminin menuduh muslimah itu tertindas, tidak punya hak untuk menceraikan suami, karena hak thalak ada di tangan laki-laki. Kukatakan pada golongan feminin, memang benar, tetapi Allah melebihkan wanita muslimah, harta dari istri tetap menjadi hak istri jika terjadi perceraian, sedangkan laki-laki harus membagi dengan istri harta yang dimiliki jika terjadi perceraian.

Itulah kelebihan menjadi muslimah, hartanya terjaga. Maka tidak perlu lagi bagi muslimah menggugat dengan embel-embel kesetaraan gender, karena muslimah adalah wanita merdeka

Rabu, 08 Juni 2011

MERANTAU

Dalam tradisi Minangkabau, setiap anak laki-laki suatu hari akan pergi meninggalkan tanah kelahiran mereka dan berjalan mencari pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang akan membuat mereka menjadi lelaki sejati. Berjalan mencari pengalaman hidup ini adalah merantau. Sebuah ujian dan pendidikan jasmani dan rohani, terlahir untuk membuktikan pengetahuan dan kehandalan mereka di dunia. Alam semesta menjadi guru pembibing yang akan membedakan cahaya kebenaran dan cahaya kesalahan.
  
quoted from the movie Synopsis MERANTAU

Sabtu, 04 Juni 2011

KERAJAAN PAGARUYUNG


Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah Kerajaan Melayu yang pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yang ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yang bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung,yaitu pada tulisan beraksara Jawi dalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qadār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam. Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda. 
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura, sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.

Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[8] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[10] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409. Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).


PENGARUH HINDU-BUDHA

Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13, yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[10] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.


PENGARUH ISLAM

Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).


HUBUNGAN DENGAN BELANDA DAN INGGRIS

Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas dan lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[19] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674  dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[26] Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.

RUNTUHNYA KERAJAAN PAGARUYUNG 


Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri dan kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821. Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[16] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.

Pasukan Belanda dan Padri saling berhadapan di medan perang. Lukisan sekitar tahun 1900.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.

EXTERNAL REFERENCEhttp://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung

Rabu, 29 Desember 2010

ASBEN - MANYASA

ini merupakan lagu daerah yang berasal dari propinsi sumatera barat, yang menceritakan tentang penyesalan seseorang yang tidak pernah mematuhi perintah orang tua dan masa mudanya di habiskan untuk berhura-hura.

ASBEN FEAT MELATI - PINTO RANG TUO

Sabtu, 09 Oktober 2010

TARI PIRING (plate dance)



Tarian Piring (Minangkabau: Tari Piriang) merupakan sebuah seni tarian milik orang Minangkabau yang berasal dari Sumatra Barat. Ia merupakan salah satu seni tarian Minangkabau yang masih diamalkan penduduk Negeri Sembilan keturunan Minangkabau.
Tarian ini memiliki gerakan yang menyerupai gerakan para petani semasa bercucuk tanam, membuat kerja menuai dan sebagainya. Tarian ini juga melambangkan rasa gembira dan syukur dengan hasil tanaman mereka. Tarian ini merupakan tarian gerak cepat dengan para penari memegang piring di tapak tangan mereka, diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Kadangkala, piring-piring itu akan dilontar ke udara atau pun dihempas ke tanah dan dipijak oleh penari-penari tersebut. Bagi menambah unsur-unsur estetika , magis dan kejutan dalam tarian ini, penari lelaki dan perempuan akan memijak piring-piring pecah tanpa rasa takut dan tidak pula luka. Penonton tentu akan berasa ngeri apabila kaca-kaca pecah dan tajam itu dipijak sambil menarik

Tarian Piring di Malaysia

Di Malaysia , tarian piring dipersembahkan ketika majlis perkahwinan terutama bagi keluarga berada, bangsawan dan hartawan di sesebuah kampung. Tarian ini biasa dilihat di kawasan Seremban,Kuala Pilah dan Rembau oleh kumpulan tertentu. Ada yang dipersembahkan dengan pakaian lengkap dan pakaian tarian tidak lengkap. Sedikit bayaran akan dikenakan jika menjemput kumpulan tarian ini mempersembahkan tarian piring. 10 - 20 minit diperuntukkan untuk persembahan tarian ini.
Tarian piring dan silat dipersembahkan di hadapan mempelai di luar rumah. Majlis perkahwinan atau sesuatu apa-apa majlis akan lebih meriah jika diadakan tarian piring. Namun begitu, segelintir masyarakat tidak dapat menerima kehadiran kumpulan tarian kerana dianggap ada percampuran lelaki dan perempuan. Bagi mengatasi masalah itu, kumpulan tarian disertai hanya gadis-gadis sahaja.